Raja Purabaya hanya
memiliki puteri tunggal. Namanya Puteri Nawangsari. Ibunda Puteri Nawangsari telah lama meninggal
dunia sehingga puteri Nawangsari sering
merasa kesepian. Meskipun ayahnya sangat menyayanginya, namun kesibukan sang
raja dalam mengurus negara sering menyita waktu sehingga tidak memiliki cukup
banyak waktu untuk memperhatikan puteri Nawangsari.
Itulah sebabnya
Putri Nawangsari sering merasakan kesepian. Dia sering menghabiskan waktunya
ditaman depan kamarnya dan duduk menyendiri disana sambil bersenandung. Suara
Putri sungguh merdu sekali. Bila Puteri sedang bernyanyi, semua burung-burung
berhenti berkicau dan bertengger diatas daun untuk mendengarkan nyanyian Puteri
Nawangsari. Sementara Puteri Nawangsari sendiri seakan tidak menyadari bila
suaranya sungguh merdu bagaikan bulu perindu.
Pada suatu hari,
kerajaan mereka diserang musuh. Raja Purbaya mati ditangan Pangeran
Rangga Permana, putra mahkota kerajaan Martalaya, musuh yang
menghancurkan kerajaan Raja Purbaya. Puteri Nawangsari merasa
sedih melihat ayahnya telah menjadi mayat. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa
selain menangis dan bersembunyi di reruntuhan gudang belakang istana yang sudah
dihancurkan musuh.
Ketika malam tiba,
diam-diam Puteri Nawangsari keluar dari tempat persembunyian.
Puteri Nawangsari berlari masuk kedalam hutan dan bersembunyi disana. Dia
merasa sedih sekali melihat kerajaan ayahnya telah hancur dan dikuasaimusuh.
Puteri Nawangsari terus masuk kedalam hutan hingga akhirnya dia tiba di sebuah gubuk yang sangat sederhana. Puteri Nawangsari yang sudah kelelahan dan merasa lapar, segera masuk kedalam gubuk itu. Dia melihat seorang nenek tua sedang meramu daun-daunan.
“Siapakah engkau?”
tanya nenek itu dengan suara lirih.
Puteri Nawangsari menceritakan
siapa dirinya dengan sesungguhnya. Nenek itu mendengarkan dengan seksama.
Ditatapnya wajah Puteri Nawangsari dengan perasaan iba.
“Kau senasib
dengan aku.” Kata nenek itu dengan suara tersendat. “Aku juga dahulu adalah
seorang puteri raja. Kerajaan ayahku dihancurkan musuh. Akulah satu-satunya
anggota keluarga kerajaan yang berhasil menyelamatkan diri. Seluruh keluargaku
dibunuh oleh musuh ayahku.”
“Oh, benarkah
begitu, nek?” Puteri Nawangsari terperangah tak percaya.
Nenek itu mengangguk.
“Dan musuh yang menghancurkan kerajaanku adalah Raja Saradipa, raja kerajaan
Martalaya.”
“Apa? Raja
Saradipa adalah ayah pangeran Rangga Permana.”
“Ya, musuh kita
ternyata sama dan nasib kita pun sama.” Nenek itu menganggukan kepalanya.
Ditatapnya wajah Puteri Nawangsari, namun tiba-tiba nenek itu memekik keras.
“Tidak! Kau tidak boleh bernasib sama seperti aku! Kau tidak boleh
menyia-nyiakan hidupmu. Dulu, ketika kerajaanku diserang, usiaku sama denganmu.
Dan aku berhasil menyelamatkan diri. Hidupku selamat tapi sia-sia. Tak ada yang
kukerjakan dihutan ini selain meramu obat-obatan dan sesekali menolong penduduk
desa yang sakit. Tidak, kau tidak boleh sama dengan aku.”
Puteri Nawangsari mendengarkan kata-kata si nenek dengan penuh perhatian. Dia tidak memahami apa maksud si nenek.
“Sekarang kau
tinggalah bersama aku. Aku punya rencana untukmu.” Kata si nenek dengan suara
bersemangat.
Beberapa hari
lamanya Puteri Nawangsari tinggal bersama nenek itu. Suatu malam,
nenek itu menemui Puteri Nawangsari dikamarnya.
“Aku mendengar
suaramu sungguh merdu sekali. Pergilah menyamar kekerajaan Martalaya.
Melamarlah untuk menjadi pelayan diistana. Bila ada kesempatan, bernyanyilah.
Usahakan agar Pangeran Rangga Permana mendengarkan nyanyianmu. Dia akan
terpikat kepadamu. Usahakan agar Pangeran Rangga Permana mengawinimu. Setelah
itu, kita bisa membalas dendam kematian ayah kita dan juga kehancuran kerajaan
kita.”
Puteri Nawangsari merasa keberatan dengan saran nenek itu namun dia tidak berani membantah karena nenek itu sudah menolongnya dari kesulitan. Esok harinya Puteri Nawangsari pergi ke istana Martalaya. Beruntung, dia diterima sebagai pelayan istana. Tugasnya adalah menghantarkan buah-buahan dan makanan ringan setiap pagi dan sore kekamar Pangeran Rangga Permana. Selama beberapa waktu Puteri Nawangsari menjalankan pekerjaan itu. Seperti saran si nenek, pada waktu luang Puteri Nawangsari duduk ditaman dan bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Karena suasana hati Puteri Nawangsari sedang sedih, lagu-lagu yang dinyanyikannya terasa menyentuh kalbu dan menimbulkan perasaan haru.
Pada suatu hari Pangeran Rangga Permana sedang duduk dikamarnya. Dia merasa tertarik mendengar suara seseorang yang sedang bernyanyi. Pangeran rangga Permana mendekati jendela. Ditaman istana, dia melihat pelayan cantik yang setiap hari mengantarkan buah-buahan dan makanan kekamarnya sedang duduk dibangku taman sambil bernyanyi.
Pangeran Rangga Permana tak kuasa menahan perasaannya. Dia pergi ketaman istana dan menemui Puteri Nawangsari. Pangeran Rangga Permana bersembunyi dibalik sebuah pohon besar mendengarkan nyanyian Puteri Nawangsari. Ketika Puteri Nawangsari selesai bernyanyi, Pangeran Rangga Permana keluar dari tempat persembunyiannya dan bertepuk tangan.
“Suaramu
merdu sekali, Nawang.” Puji sang pangeran. “Kau lihat,
burung-burungpun berhenti berkicau ketika kau sedang bernyanyi.”
Puteri Nawangsari hanya tersenyum malu mendengar pujian Pangeran Rangga Permana. Sejak hari itu, hubungan sang pangeran menjadi akrab dengan Puteri Nawangsari. Bahkan raja dan permaisuri pun tidak melarang hubungan sang pangeran dengan Nawangsari karena raja dan permaisuripun sangat senang mendengarkan suara Nawangsari yang merdu. Bahkan tidak lama kemudian Pangeran Rangga Permana menikah dengan Nawangsari. Pesta perkawinan mereka diselenggarakan dengan meriah. Tidak ada seorangpun dikerajaan Martalaya yang mengetahui bahwa Nawangsari adalah puteri Raja Purbaya dari kerajaan Sidayu yang sudah mereka hancurkan.
Suatu hari Puteri
Nawangsari sedang memetik bunga ditaman istana ketika tiba-tiba
nenek dihutan itu datang.
“Sekarang sudah tiba saatnya untuk membalas dendam, Nawangsari.” Kata nenek itu mengejutkan Puteri Nawangsari yang tidak mengira dengan kedatangannya. “Bila malam tiba, ketika suamimu sudah lelap tertidur, bunuhlah dia. Lalu kau diam-diam menyelinap kedalam kamar raja dan permaisuri. Bunuh pula mereka. Setelah itu kau kaburlah diam-diam. Aku akan menunggumu diluar pintu istana. Kita berdua akan menyelamatkan diri setelah membalas dendam.”
Puteri
Nawangsari menatap si nenek dengan bingung. Dia mengelus perutnya.
Dia sedang hamil tiga bulan. Oh, tidak mungkin dia membunuh suaminya yang
sebentar lagi akan menjadi ayah dari bayi yang dikandungnya. Namun lagi-lagi
Puteri Nawangsari tidak sanggup untuk membantah nenek itu. Dia hanya
diam saja ketika nenek itu menyelipkan tiga buah belati dibalik gaunnya.
Malam itu Puteri Nawangsari merasa gelisah sekali. Dia tak sanggup memejamkan matanya. Dilihatnya suaminya telah tertidur.
Puteri Nawangsari memperhatikan
suaminya. Perasaannya campur aduk. Dia membenci Pangeran Rangga
Permana karena telah membunuh ayahnya dan menghancurkan kerajaannya.
Namun setelah dia menjalankan perintah si nenek dan kemudian rencana mereka
berhasil sesuai dengan keinginan si nenek sang pangeran mengawininya, rasanya
dia tidak mungkin membunuh laki-laki yang telah menjadi suaminya. Lagi pula dia
sangat mencintai dan menyayangi Pangeran Rangga Permana seperti halnya sang
pangeran pun mencintai dan menyayangi dirinya. namun untuk membantah si nenek
pun dia tidak berani.
Puteri
Nawangsari mengambil belati yang disembunyikan dibawah bantalnya.
Diangkatnya belati itu diatas dada suaminya, namun tangannya terasa bergetar.
Berkali-kali Puteri Nawangsari mencoba namun selalu saja dia tak
kuasa untuk melakukannya. Akhirnya belati itu terjatuh kelantai menimbulkan
bunyi yang nyarin. Pangeran Rangga Permana terbangun. Dia heran
melihat sebuah belati tergeletak diatas lantai. Dipungutnya belati itu.
“Ada apa, Nawang?”
Tanya Pangeran Rangga Permana.
Puteri
Nawangsari tak sanggup berbohong. Dia menceritakan segalanya kepada
suaminya. Dia juga menceritakan siapa dirinya sebenarnya. Pangeran Rangga
Permana mendengarkan dengan seksama. “Sebenarnya kau punya kesempatan
untuk membunuh aku. Tidurku barusan lelap sekali. Kenapa engkau tidak
membunuhku?” Tanya Pangeran Rangga Permana.
“Bagaimana mungkin aku dapat membunuhmu? Engkau adalah suamiku dan calon ayah dari bayi yang sedang kukandung ini.” Sahut Puteri Nawangsari sambil menangis.
Pangeran Rangga
Permana memeluknya dengan penuh haru. Pangeran lalu pergi kekamar ayah dan
ibunya menceritakan apa yang baru saja terjadi. Raja Saradipa dan permaisuri
merasa terkejut. Mereka lalu menyuruh ponggawa menangkap si nenek yang sedang
menunggu Puteri Nawangsari didepan pintu gerbang. Tak lama kemudian
si nenek berhasil ditangkap dan dimasukan kedalam penjara.
Sementara Puteri
Nawangsari, setelah melahirkan putranya dia merasa gelisah tak menentu.
Meskipun suaminya sangat mencintainya, namun dia selalu dibebani perasaan
berdosa kepada ayahnya karena dia menikah dengan orang yang telah membunuh
ayahnya. Akhirnya Puteri Nawangsari terganggu jiwanya. Dia sering
menjerit-jerit setiap malam. Pangeran Rangga Permana berusaha menyembuhkan
istrinya. Namun akhirnya Puteri Nawangsari meninggal karena tekanan
jiwa.
Pangeran Rangga Permana merasa menyesal dengan perbuatannya dan kekejaman leluhurnya. Nenek itu dibebaskan. Ketika diangkat menjadi raja, pangeran Rangga Permana memerintah dengan adil dan bijaksana. Dia tak pernah lagi memerangi kerajaan lain karena perang menimbulkan penderitaan. Hingga akhir hayatnya, Pangeran Rangga Permana tidak menikah lagi karena cintanya hanya untuk Puteri Nawangsari.
http://batiksaca.blogspot.com/2013/05/nyanyian-puteri-nawangsari.html